Minggu, 02 Desember 2012

Hidupmu Bukan Hanya Untuk Masalalu

Posted by Avinda deviana devah at Minggu, Desember 02, 2012


Gadis itu berdiri menghadap pohon besar yang tumbuh kokoh dihadapannya dengan tatapan nanar sambil memeluk sebuah kotak tua berwarna coklat. Memory masa lalu berputar jelas di otaknya bak film yang sedang di putar. Masa lalunya dengan sahabat masa kecilnya itu tak akan pernah pupus dari otaknya, apalagi jika ia mengunjungi tempat ini. Tempat favoritnya semasa kecil dengan sahabatnya itu. Pohon besar –satu-satunya- yang berdiri kokoh di pinggir taman itu merupakan tempat special bagi mereka. Bermain, bercanda, menangis, bahkan hanya sekedar melamun pun mereka lakukan bersama dipohon ini.

Tahun ke 7

“Deby , tebak aku punya komik baru. Ayahku membelikanku ini kemarin.” Ucap seorang anak laki-laki sambil mengacungkan sebuah komik Anime kepada gadis kecil dihadapannya.
“Oh ya? Apa itu? Jangan bilang itu komik Naruto lagi?” gadis kecil itu menanggapinya. Anak laki-laki itu hanya memamerkan gigi putihnya yang berbehel sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Gadis kecil itu hanya memutar bola matanya, kemudian berkata.
“Astaga Aldo… koleksi komik naruto mu itu sudah satu lemari penuh, masih saja kau membeli komik bergenre action itu? Huh menyebalkan.”
“Hey nona manis, kau sendiri bagaimana, huh? Boneka Barbie mu itu sudah 1 gudang tapi tetap saja kau membelinya.” Cibir anak laki-laki itu.
“Oh ya? Benar kah? Hmm.. kalau begitu kita sama, hahaha…”
Mereka berdua tertawa bersama menertawai kekonyolan masing-masing….

Dari 10 tahun yang lalu tidak pernah ada yang berubah dengan pohon ini, dari dulu pohon ini sudah tumbuh besar dengan dibawahnya bertengger sebuah kursi panjang berwarna putih yang –sekarang- warnanya mulai memucat. Kursi itu merupakan tempat paling nyaman untuk mereka. Pohon itu sangat rindang, sehingga meneduhkan sekelilingnya.

“Kapan kau kembali?” gumamnya lirih, ia semakin mengeratkan pelukannya pada kotak itu. Kotak itu berisi barang-barang kenangan antara dia dengan sahabatnya.

“By.. ayo pulang, mau sampai kapan kau akan terus berdiri disini?” seseorang menepuk pundak Deby –nama gadis itu-.
Deby menoleh, kemudian tersenyum tipis mendapati orang yang menepuk bahunya adalah Kakaknya sendiri, kemudian menggeleng, dan kembali memalingkan wajah menghadap pohon itu.

“Aku merindukannya, Mas.. Kapan ya dia kembali, haha.” Deby tertawa, tawanya terdengar hambar, tatapan matanya kembali meredup, seolah tak ada sinar di kedua bola matanya.
Dimas –Kakaknya- melangkah mendekati adiknya, kemudian merengkuhnya. “Ayolah By jangan seperti ini, biarkan Aldo tenang  disana. Jika kau masih seperti ini Mas yakin Aldo juga akan sedih melihatmu terus bersedih, terlebih kau bersedih karenanya. Kau tau sendiri kan Aldo tidak suka melihatmu bersedih.”
Deby menggeleng, air matanya mulai meluncur dengan deras di pelupuk mata sipitnya.
“Aku menyesal, kenapa dulu aku seperti anak kecil, memaksanya datang ke acara ulangtahunku, padahal aku tahu saat itu Aldo tengah sibuk dengan tugas sekolahnya.”

Dimas mengusap punggung adiknya, berusaha memberi kekuatan pada Deby yang menangis semakin sesegukan.
“Jangan seperti itu, masalalu jangan disalahkan itu hanya sebuah kecelakaan, kau harus bangkit Deb, oh ayolah demi Tuhan aku sedih melihatmu seperti ini.” Dimas berujar sangat lirih di telinga Deby.

Tahun ke 8

Gadis kecil itu berlari menuju tempat biasanya –pohon besar, dengan memakai pakaian serba hitam air matanya tak kunjung berhenti keluar dari mata sipitnya. Sesampainya di pohon besar itu ia langsung mendudukan tubuhnya di tanah dibawah pohon itu, ia memeluk lututnya menenggelamkan kepalanya di atas lututnya sambil terus menangis.
Setelah itu seorang anak laki-laki –sama memakai baju serba hitam- datang menghampirinya dan berlutut di hadapannya.
“By, jangan menangis.. biarkan nenekmu tenang di sana. Aku yakin ia akan sedih jika melihatmu menangisinya seperti ini..” Ucap anak laki-laki itu sembari mengusap pundak gadis kecil yang masih terus menangis.
Gadis kecil itu kemudian mengangkat wajahnya, menampilkan wajah sembabnya  “Aku..hiks tidak mau kehilangan nenekku,hiks….nenek yang baik di dunia ini hanya nenekku. Kenapa Tuhan begitu jahat memanggil nenek secepat ini, Do?” ujar gadis itu sesegukkan.
“Dia tidak meninggalkan mu By, dia akan selalu memperhatikanmu di atas sana, dia juga akan selalu ada di dekatmu, dia ada di sini, di hatimu.” Tangan laki-laki kecil itu menyentuh dadanya sendiri, memberi keyakinan pada si gadis kecil.
“Benar kah?” kali ini mata gadis kecil itu berkaca-kaca, terpancar jelas dimatanya ada sebuah harapan yang besar, ia berharap anak laki-laki di hadapannya ini tidak berbohong.
“Tentu saja, sekarang jangan menangis lagi ya? Aku tidak mau melihatmu menangis seperti ini.” Anak laki-laki itu kemudian mengapus air mata di pipi si gadis kecil. “Kau tau? Jika kau menangis mata sipitmu semakin sipit dan itu membuatmu seperti tidak memiliki mata, hahaha.” Lanjut anak laki-laki itu yang sukses membuat si gadis kecil cemberut menggelembungkan pipinya, namun seperkian detik kemudian mereka tertawa bersama…

Deby menutup telinganya dengan kedua tangannya, ia memejamkan matanya yang terus mengeluarkan cairan itu. Ia benci, benci jika kenangan manis itu kembali terputar. Terlebih jika ia mengingat bahwa seorang yang berada dalam kenangan itu sudah tiada. Aldo yang dulu baru berumur 8 tahun sudah sangat dewasa, entah darimana anak laki-laki itu mendapatkan kalimat-kalimat yang mampu memberi kekuatan pada Deby kecil. Deby kembali terisak, saat neneknya meninggal Aldo lah yang meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja, namun sekarang Aldo telah tiada, lalu siapa yang akan meyakinkannya lagi, memberinya semangat seperti dulu lagi?
Sahabat yang dulu selalu ada untuknya disaat senang maupun sedih, suka ataupun duka kini sudah tiada. Ia sudah kembali kepangkuan sang pencipta, ia sudah tidur untuk selama-lamanya, tidak akan kembali, tidak akan memamerkan senyumnya, tidak akan terdengar suara khasnya, tidak ada lagi kejahilannya….
Deby beranjak dari kasurnya menuju nakas yang berada tak jauh dari tempat tidurnya, membuka salah satu lacinya dan merogoh sebuah figura yang berisi gambar seorang remaja laki-lagi dan remaja perempuan tengah tersenyum menghadap kamera dengan masing-masing memegang sebuah ice cream ditangannya. Ia mengangkat tangannya lalu menyentuh foto itu. Air matanya jatuh menetes pada permukaan foto yang berlapis kaca figura itu. Hatinya terluka, sahabat yang sangat ia sayangi benar-benar tiada. Aldo bukan hanya sahabat untuknya tapi Aldo adalah cinta pertama baginya. Mungkin selama 5 tahun belakangan ini –setelah Deby menyadarinya- sebenarnya ia menyimpan perasaan lebih pada Aldo, hanya saja Deby lebih memilih untuk menyimpannya sendiri.

Tahun ke 15

Hari ini adalah hari kelulusan Deby dan Aldo di Sekolah Menengah Pertama. Setelah tadi meaksanakan berbagai acara perpisahan disekolahnya, mereka berdua memutuskan untuk pulang. Tapi bukannya pulang, mereka malah memilih untuk ‘berkunjung’ ke tempat favorit mereka, Pohon besar. Setelah sampai, mereka langsung merebahkan tubuh mereka diatas hamparan rumput hijau yang tersebar disekeliling pohon itu, dengan tangan sebaga bantalannya. Mereka tertawa, tersenyum mengingat mereka kini sudah lepas dari seragam putih-biru, dan sebentar lagi mereka akan mengenakan seragam putih-abu, itu artinya mereka sudah semakin besar.
“By..” Aldo memulai pembicaraan.
“Hmm..”
“Sekarang kita sudah lulus, dan sebentar lagi kita masuk SMA. Aku belum sempat bilang kemana aku melanjutkan sekolahku, padamu kan?” Katanya, tatapannya menerawang.
“Ya, kau belum memberitahuku kemana kau akan melanjutkan sekolahmu.” Ujar Deby menimpali, seraya menoleh kearah Aldo.
“Aku.. akan melanjutkan sekolahku di SMA 8 Jakarta.”
“Huh? Kau tidak bercanda? Bukankah disini juga masih ada sekolah terbaik? Ku kira kau akan masuk SMA 3 Bandung sama seperti ku.”
“Tidak.. eum.. By.. sebenarnya..” Aldo bangkit mendudukan dirinya lalu menghadap Deby. “Minggu depan aku akan pindah ke Jakarta.” Lanjut Aldo hati-hati.
Mendengar itu sontak mata Deby membuat tak percaya, ia ikut bangkit mendudukan dirinya menghadap Aldo.
“Kau… pasti bercanda, kan?”
“Tidak.. Ayahku di pindah tugaskan ke Jakarta, dan lagi pula semua keluargaku ada di sana. Akhirnya kami memutuskan untuk tinggal disana, dan aku melanjutkan sekolahku disana.”
Deby tidak menjawab, ia terlalu sibuk dengan pikiranya dan perasaannya sendiri. Kacau. Secepat itu kah ia akan berpisah dengan Aldo? Jadi ia tidak akan satu sekolah lagi dengan Aldo? Lalu siapa yang akan menemaninya di tempat favoritnya ini jika Aldo tidak ada?
Menyadari tidak ada tanggapan dari Deby, Aldo semakin resah. Ia tahu akhirnya akan seperti ini. Deby pasti marah padanya atas pengakuan yang mendadak seperti ini, mengingat Deby sepertinya sangat ketergantungan sekali padanya.
“By, maafin aku. Aku janji kita tidak akan pernah lost contact, aku akan selalu menghubungimu, dan setiap liburan aku pasti akan mengunjungimu. Ayolah Jakarta-Bandung itu tidak jauh.” Aldo meyakinkan Deby setengah memohon dengan wajahnya yang memelas, berharap Deby mau mengerti.
Tetap tidak ada respon dari Deby, ia masih sibuk dengan pemikiran-pemikira yang datang pada otaknya, itu membuat Aldo semakin resah. Tapi tak lama setelah itu, akhirnya Deby membuka mulut.
“Baiklah, tapi kau harus menepati janji mu.” Ujar Deby sangat pasrah. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi untuk melarang Aldo agar tetap ada disini bersamanya, walau bagaimanapun ia juga harus bisa hidup jauh dari sahabat –sekaligus cinta pertama-nya ini.
“Sip” Aldo mengacungkan jari kelingkinya, kemudian diikuti Deby dan menautkan jari kelingkingnya. Mereka kembali tertawa bersama…

Deby tersenyum  getir mengingat saat-saat itu. Meskipun begitu saat itu Aldo tetap menepati janjinya ia tidak pernah lost contact dengan Aldo, saat liburan pun mereka tetap bertemu. Itu yang Deby senangi dari Aldo, Aldo tidak pernah mengingkari janjinya, dia selalu menepati janjinya, karena menurut Aldo “Janji adalah janji, penting atau tidak janji harus tetap di tepati.”

Deby berjalan gontai menelusuri jalan ramai kota Bandung. Ia memutuskan memasuki sebuah café yang cukup terkenal di Bandung. Ia memilih tempat duduk yang berada di pojok ruangan, cukup sepi keadaan café terebut hanya ada beberapa pelanggan saja. Ia melambaikan tangan kepada salah satu pelayan café itu.

“Mau pesan apa, mbak?”

“Saya pesan vanillalate dan roti bakar pisang keju saja.”

“Baiklah, tunggu sebentar pesanan akan segera datang.” Kemudian pelayan itu melenggang pergi meninggalkan Deby.
Ia ingat betul kejadian saat tanggal 20 agustus bulan lalu, saat dimana ia dan Aldo memutuskan untuk bertemu di café ini untuk membicarakan ulang tahun Deby yang hanya tinggal 5 hari lagi. Deby memaksa Aldo untuk bertemu dengannya, ia ingin meminta saran dan persetujuan dari Aldo tentang acara ulang tahunnya. Aldo yang memang tidak pernah bisa menolak keinginan Deby pun menyanggupi untuk bertemu dengannya.
Tak lama kemudian pesanannya datang, ia meniup kepulan asap dari secangkir vanillalatenya, kemudian menyesapnya perlahan, merasakan sensasi hangat, manis dan sedikit pahit dari minumannya itu. Kemudian ia menyuapkan roti bakar pisang kejunya ke mulutnya, dan mengunyah secara perlahan.

25 Agustus 2012

Deby mematut dirinya di depan cermin, ia kini memakai dress berwarna peach selutut dengan renda di bagian pinggangnya. Rambut kriting gantungnya diikat seperti buntut kuda dengan pita berwarna senada dengan dressnya. Hari ini adalah hari yang ia tunggu, hari ulang tahunnya yang ke 17, ia sangat bahagia mengingat acara ulang tahunnya ini sepenuhnya di rancang oleh Aldo. Deby melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Tinggal 1 jam lagi acara di mulai, tapi Aldo belum juga menunjukan batang hidungnya, padahal 3 jam yang lalu saat ia menelponnya Aldo sedang dalam perjalanan. Sebenarnya saat itu Aldo sedang sibuk dengan tugas-tugas akhir semesternya, namun ia terlanjur berjanji pada Deby untuk datang dan harus hadir dalam acara ulang tahun Deby.
Satu jam berlalu dari acara pesta ulang tahun Deby, Aldo masih saja belum sampai. Deby terlihat sangat khawatir, beberapa kali Deby menghubungi  Aldo namun tak pernah ada jabawan. Ia sangat panik, sampai akhirnya ponselnya berdering menandakan ada panggilan masuk. Sederet nama yang sudah tak asing lagi tertera di layar ponsel Deby. Deby langsung mengangkatnya dengan senyuman merekah namun tak berapa lama wajahnya berubah menjadi pucat, air matanya langsung jatuh menurui pipi dan dagu tirusnya. Ia menjatuhkan tubuhnya dengan menangis terisak, tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan dari seorang yang menelponnya tadi…
‘Apa…? Aldo.. itu tidak mungkin……’
“Hey By, ada apa? Siapa yang menelponmu barusan?” suara Dimas terdengar panic begitu melihat adiknya terduduk sembari menangis histeris.
“Mas.. ini bohong kan? Mas… Aldo…”
“Hey Aldo kenapa?” karena tidak ada jawaban dari Deby, Dimas mengambil ponsel Deby mencoba berbicara pada orang diseberang sana.
Setelah tau jawabannya, Dimas langsung merengkuh tubuh adiknya, memberi kekuatan pada Deby. Deby menangis semakin histeris bahunya mengguncang, hatinya sakit, kenapa Aldo pergi begitu cepat, kenapa Aldo meninggalkannya. Jahat sekali… apa ini kado terakhir dari Aldo untuknya? Tuhaaaaan kenapa di saat hari special ini Deby harus kehilangan seseorang yang sangat berharga untuknya? Kenapa Kau mengambilnya begitu cepat…..

Deby tersadar dari lamunannya saat suara gemuruh hujan terdengar di indera pendengarannya. Ia menoleh kearah jendela mendapati hujan deras telah mengguyur kota Bandung. Ia menghela nafas, kemudian meraih vanillalatenya –yang tinggal setengah- dan meminumnya. Tak lama kemudian hujan mereda, ia mengambil tasnya dan meninggalkan beberapa lembar uang kertas di atas meja lalu berjalan keluar meninggalkan café itu.
Deby berjalan tanpa arah, pandangannya mengosong disertai ai matanya yang tak berhenti jatuh dari pelupuk mata sipitnya. Dengan setangah sadar Deby kini sudah berada di salah satu pusaran milik seseorang yang sangat Deby kenal, Makam Aldo. Keluarga Aldo sengaja menjadikan Bandung untuk tempat peristirahatan terakhir bagi Aldo, jadi Deby bisa kapan saja mengunjungi Aldo.
Deby tersenyum miris menatap pusaran dihadapannya, kemudian ia berjongkok dan mencium batu nisan bertuliskan ‘ALDO BAGASKARA’.

“Do, kau tahu tidak? Aku merindukanmu… apa kau juga rindu padaku?” Deby bergumam lirih, siapapun akan mengira Deby sudah gila karena berbicara sendiri dengan nisan orang yg sudah mati.

“Do… Kau jahat.. kau memberikan kado terakhir yang sangat mengerikan.. aku membencimu.” Deby kembali terisak.

“Aldo………”

“Deby...”  sayup-sayup Deby mendengar seseorang memanggilnya.

“Ini aku, berhentilah menangisiku, aku tidak pergi kemana-mana, aku ada untukmu. Kau mempunyai masa depan yang lebih panjang, jangan jadi seperti ini. Kau harus bangkit dari masalalu mu, masa depanmu lebih penting. Jadikanlah masa lalumu sebuah kenangan, jangan kau bawa masa lalumu di masa depan, cukup kau kenang. Aku tidak mau menjadi beban untukmu. Aku kini hanya akan menjadi kenangan di masalalu untukmu. Berjanjilah untukku kau akan meraih masa depanmu, aku yakin kau bisa tanpaku…..” tanpa ada kesempatan untuk Deby berbicara, suara itu telah menghilang.  Bulu kuduknya meremang, ia sangat mengenal suara itu, ia yakin itu suara Aldo, Deby tersadar ia menoleh kekanan dan kekiri mencoba mencari asal suara tersebut, namun nihil di pemakaman itu tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Ia menoleh cepat pada pusaran Aldo, dan teringat dengan kalimat yang barusan Aldo ucapkan padanya “Kau harus bangkit dari masalalu mu, masa depanmu lebih penting”  Ya itu benar, ia tidak boleh terlarut di masa lalunya, walau bagaimanapun ia meiliki masa depan yang lebih penting, kemudian ia teringat kembali ucapan Aldo yang lain “Aku tidak mau menjadi beban untukmu. Aku kini hanya akan menjadi kenangan di masalalu untukmu” dada Deby tiba-tiba menjadi sesak. Kenangan dimasa lalu, itu terdengar sangat mengerikan ditelinganya, bagaimana bisa Aldo hanya akan menjadi kenangan dimasa lalu untukknya? Itu tidak mungkin!
Deby mendesah ketika mengingat kembali ucapan Aldo yang merupakan kalimat terakhir darinya “Berjanjilah untukku kau akan meraih masa depanmu, aku yakin kau bisa tanpaku” Ia memejamkan matanya, seolah mendapat pencerahan wajahnya berubah berseri, matanya kini kembali memancarkan sinarnya. Ya Aldo benar, ia tidak boleh terpaku pada kenangan masa lalunya, dengan atau tanpa Aldo ia harus bisa menjalani hidupnya. Toh sekarang ia tahu, kalau Aldo tidak benar-bena pergi meninggalkannya, ia selalu ada untuknya, dihatinya. Deby tersenyum, kemudian ia berdiri dari duduknya dan mulai melangkah pergi meninggalkan batu nisan bertuliskan nama seseorang yang selalu berhasil membuatnya kembali bersemangat “ALDO BAGASKARA”.

Ini aku, berhentilah menangisiku, aku tidak pergi kemana-mana, aku ada untukmu. Kau mempunyai masa depan yang lebih panjang, jangan jadi seperti ini. Kau harus bangkit dari masalalu mu, masa depanmu lebih penting. Jadikanlah masa lalumu sebuah kenangan, jangan kau bawa masa lalumu di masa depan, cukup kau kenang. Aku tidak mau menjadi beban untukmu. Aku kini hanya akan menjadi kenangan di masalalu untukmu. Berjanjilah untukku kau akan meraih masa depanmu, aku yakin kau bisa tanpaku” – Aldo Bagaskara.

***

Tadaaaa ini cerita lebay yakali '-' ini sebenernya cerita dibikin buat ganjur (Ganesha Jurnalis) di sekolah, haha. temanya kemarin dan hari ini eh apa ya lupa--" ceritaku udah sesuai tema ga? wkwk ah serah sih gatau .-.ya udah kasih komen aja ya yg baca jangan jadi silent reader plis u,u

0 comments:

Posting Komentar

 

secuil karya avinda Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea