Gadis
itu berdiri menghadap pohon besar yang tumbuh kokoh dihadapannya dengan tatapan
nanar sambil memeluk sebuah kotak tua berwarna coklat. Memory masa lalu
berputar jelas di otaknya bak film yang sedang di putar. Masa lalunya dengan
sahabat masa kecilnya itu tak akan pernah pupus dari otaknya, apalagi jika ia
mengunjungi tempat ini. Tempat favoritnya semasa kecil dengan sahabatnya itu.
Pohon besar –satu-satunya- yang berdiri kokoh di pinggir taman itu merupakan tempat
special bagi mereka. Bermain, bercanda, menangis, bahkan hanya sekedar melamun
pun mereka lakukan bersama dipohon ini.
Tahun ke 7
“Deby , tebak aku punya komik baru. Ayahku membelikanku ini kemarin.” Ucap seorang anak laki-laki
sambil mengacungkan sebuah komik Anime kepada gadis kecil dihadapannya.
“Oh ya? Apa itu? Jangan bilang itu komik Naruto lagi?” gadis kecil
itu menanggapinya. Anak laki-laki itu hanya memamerkan gigi putihnya yang
berbehel sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Gadis kecil itu hanya
memutar bola matanya, kemudian berkata.
“Astaga Aldo… koleksi
komik naruto mu itu sudah satu lemari penuh, masih saja kau membeli komik
bergenre action itu? Huh menyebalkan.”
“Hey nona manis, kau sendiri bagaimana, huh? Boneka Barbie mu itu
sudah 1 gudang tapi tetap saja kau membelinya.” Cibir anak laki-laki itu.
“Oh ya? Benar kah? Hmm.. kalau begitu kita sama, hahaha…”
Dari 10 tahun yang lalu
tidak pernah ada yang berubah dengan pohon ini, dari dulu pohon ini sudah
tumbuh besar dengan dibawahnya bertengger sebuah kursi panjang berwarna putih
yang –sekarang- warnanya mulai memucat. Kursi itu merupakan tempat paling nyaman
untuk mereka. Pohon itu sangat rindang, sehingga meneduhkan sekelilingnya.
“Kapan
kau kembali?” gumamnya lirih, ia semakin mengeratkan pelukannya pada kotak itu.
Kotak itu berisi barang-barang kenangan antara dia dengan sahabatnya.
“By..
ayo pulang, mau sampai kapan kau akan terus berdiri disini?” seseorang menepuk
pundak Deby –nama gadis itu-.
Deby
menoleh, kemudian tersenyum tipis mendapati orang yang menepuk bahunya adalah
Kakaknya sendiri, kemudian menggeleng, dan kembali memalingkan wajah menghadap
pohon itu.
“Aku
merindukannya, Mas.. Kapan ya dia kembali, haha.” Deby tertawa, tawanya
terdengar hambar, tatapan matanya kembali meredup, seolah tak ada sinar di
kedua bola matanya.
Dimas
–Kakaknya- melangkah mendekati adiknya, kemudian merengkuhnya. “Ayolah By
jangan seperti ini, biarkan Aldo tenang
disana. Jika kau masih seperti ini Mas yakin Aldo juga akan sedih
melihatmu terus bersedih, terlebih kau bersedih karenanya. Kau tau sendiri kan
Aldo tidak suka melihatmu bersedih.”
Deby
menggeleng, air matanya mulai meluncur dengan deras di pelupuk mata sipitnya.
“Aku
menyesal, kenapa dulu aku seperti anak kecil, memaksanya datang ke acara
ulangtahunku, padahal aku tahu saat itu Aldo tengah sibuk dengan
tugas sekolahnya.”
Dimas
mengusap punggung adiknya, berusaha memberi kekuatan pada Deby yang menangis
semakin sesegukan.
“Jangan
seperti itu, masalalu jangan disalahkan itu hanya sebuah kecelakaan, kau harus
bangkit Deb, oh ayolah demi Tuhan aku sedih melihatmu seperti ini.” Dimas
berujar sangat lirih di telinga Deby.
Tahun ke 8
Gadis kecil itu berlari
menuju tempat biasanya –pohon besar, dengan memakai pakaian serba hitam air
matanya tak kunjung berhenti keluar dari mata sipitnya. Sesampainya di pohon
besar itu ia langsung mendudukan tubuhnya di tanah dibawah pohon itu, ia
memeluk lututnya menenggelamkan kepalanya di atas lututnya sambil terus
menangis.
Setelah itu seorang anak
laki-laki –sama memakai baju serba hitam- datang menghampirinya dan berlutut di
hadapannya.
“By, jangan menangis..
biarkan nenekmu tenang di sana. Aku yakin ia akan sedih jika melihatmu menangisinya
seperti ini..” Ucap anak laki-laki itu sembari mengusap pundak gadis kecil yang
masih terus menangis.
Gadis kecil itu kemudian
mengangkat wajahnya, menampilkan wajah sembabnya “Aku..hiks tidak mau kehilangan
nenekku,hiks….nenek yang baik di dunia ini hanya nenekku. Kenapa Tuhan begitu
jahat memanggil nenek secepat ini, Do?” ujar gadis itu sesegukkan.
“Dia tidak meninggalkan mu
By, dia akan selalu memperhatikanmu di atas sana, dia juga akan selalu ada di
dekatmu, dia ada di sini, di hatimu.” Tangan laki-laki kecil itu menyentuh
dadanya sendiri, memberi keyakinan pada si gadis kecil.
“Benar kah?” kali ini mata
gadis kecil itu berkaca-kaca, terpancar jelas dimatanya ada sebuah harapan yang
besar, ia berharap anak laki-laki di hadapannya ini tidak berbohong.
“Tentu saja, sekarang
jangan menangis lagi ya? Aku tidak mau melihatmu menangis seperti ini.” Anak
laki-laki itu kemudian mengapus air mata di pipi si gadis kecil. “Kau tau? Jika
kau menangis mata sipitmu semakin sipit dan itu membuatmu seperti tidak
memiliki mata, hahaha.” Lanjut anak laki-laki itu yang sukses membuat si gadis
kecil cemberut menggelembungkan pipinya, namun seperkian detik kemudian mereka
tertawa bersama…
Deby
menutup telinganya dengan kedua tangannya, ia memejamkan matanya yang terus
mengeluarkan cairan itu. Ia benci, benci jika kenangan manis itu kembali
terputar. Terlebih jika ia mengingat bahwa seorang yang berada dalam kenangan
itu sudah tiada. Aldo yang dulu baru berumur 8 tahun sudah sangat dewasa, entah
darimana anak laki-laki itu mendapatkan kalimat-kalimat yang mampu memberi kekuatan
pada Deby kecil. Deby kembali terisak, saat neneknya meninggal Aldo lah yang
meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja, namun sekarang Aldo telah tiada,
lalu siapa yang akan meyakinkannya lagi, memberinya semangat seperti dulu lagi?
Sahabat yang dulu selalu ada untuknya disaat
senang maupun sedih, suka ataupun duka kini sudah tiada. Ia sudah kembali
kepangkuan sang pencipta, ia sudah tidur untuk selama-lamanya, tidak akan
kembali, tidak akan memamerkan senyumnya, tidak akan terdengar suara khasnya,
tidak ada lagi kejahilannya….
Deby beranjak dari kasurnya menuju nakas yang
berada tak jauh dari tempat tidurnya, membuka salah satu lacinya dan merogoh
sebuah figura yang berisi gambar seorang remaja laki-lagi dan remaja perempuan
tengah tersenyum menghadap kamera dengan masing-masing memegang sebuah ice
cream ditangannya. Ia mengangkat tangannya lalu menyentuh foto itu. Air matanya
jatuh menetes pada permukaan foto yang berlapis kaca figura itu. Hatinya
terluka, sahabat yang sangat ia sayangi benar-benar tiada. Aldo bukan hanya
sahabat untuknya tapi Aldo adalah cinta pertama baginya. Mungkin selama 5 tahun
belakangan ini –setelah Deby menyadarinya- sebenarnya ia menyimpan perasaan
lebih pada Aldo, hanya saja Deby lebih memilih untuk menyimpannya sendiri.
Tahun ke 15
Hari ini adalah hari kelulusan Deby dan Aldo di Sekolah Menengah Pertama. Setelah
tadi meaksanakan berbagai acara perpisahan disekolahnya, mereka berdua
memutuskan untuk pulang. Tapi bukannya pulang, mereka malah memilih untuk ‘berkunjung’
ke tempat favorit mereka, Pohon besar. Setelah sampai, mereka langsung merebahkan
tubuh mereka diatas hamparan rumput hijau yang tersebar disekeliling pohon itu,
dengan tangan sebaga bantalannya. Mereka tertawa, tersenyum mengingat mereka
kini sudah lepas dari seragam putih-biru, dan sebentar lagi mereka akan
mengenakan seragam putih-abu, itu artinya mereka sudah semakin besar.
“By..” Aldo memulai pembicaraan.
“Hmm..”
“Sekarang kita sudah lulus, dan sebentar lagi kita masuk SMA. Aku belum
sempat bilang kemana aku melanjutkan sekolahku, padamu kan?” Katanya,
tatapannya menerawang.
“Ya, kau belum memberitahuku kemana kau akan melanjutkan sekolahmu.” Ujar
Deby menimpali, seraya menoleh kearah Aldo.
“Aku.. akan melanjutkan sekolahku di SMA 8 Jakarta.”
“Huh? Kau tidak bercanda? Bukankah disini juga masih ada sekolah terbaik? Ku
kira kau akan masuk SMA 3 Bandung sama seperti ku.”
“Tidak.. eum.. By.. sebenarnya..” Aldo bangkit mendudukan dirinya lalu
menghadap Deby. “Minggu depan aku akan pindah ke Jakarta.” Lanjut Aldo
hati-hati.
Mendengar itu sontak mata Deby membuat tak percaya, ia ikut bangkit
mendudukan dirinya menghadap Aldo.
“Kau… pasti bercanda, kan?”
“Tidak.. Ayahku di pindah tugaskan ke Jakarta, dan lagi pula semua
keluargaku ada di sana. Akhirnya kami memutuskan untuk tinggal disana, dan aku
melanjutkan sekolahku disana.”
Deby tidak menjawab, ia terlalu sibuk dengan pikiranya dan perasaannya
sendiri. Kacau. Secepat itu kah ia akan berpisah dengan Aldo? Jadi ia tidak
akan satu sekolah lagi dengan Aldo? Lalu siapa yang akan menemaninya di tempat
favoritnya ini jika Aldo tidak ada?
Menyadari tidak ada tanggapan dari Deby, Aldo semakin resah. Ia tahu
akhirnya akan seperti ini. Deby pasti marah padanya atas pengakuan yang
mendadak seperti ini, mengingat Deby sepertinya sangat ketergantungan sekali
padanya.
“By, maafin aku. Aku janji kita tidak akan pernah lost contact, aku akan
selalu menghubungimu, dan setiap liburan aku pasti akan mengunjungimu. Ayolah
Jakarta-Bandung itu tidak jauh.” Aldo meyakinkan Deby setengah memohon dengan
wajahnya yang memelas, berharap Deby mau mengerti.
Tetap tidak ada respon dari Deby, ia masih sibuk dengan pemikiran-pemikira
yang datang pada otaknya, itu membuat Aldo semakin resah. Tapi tak lama setelah
itu, akhirnya Deby membuka mulut.
“Baiklah, tapi kau harus menepati janji mu.” Ujar Deby sangat pasrah. Tidak
ada yang bisa ia lakukan lagi untuk melarang Aldo agar tetap ada disini bersamanya,
walau bagaimanapun ia juga harus bisa hidup jauh dari sahabat –sekaligus cinta
pertama-nya ini.
“Sip” Aldo mengacungkan jari kelingkinya, kemudian diikuti Deby dan
menautkan jari kelingkingnya. Mereka kembali tertawa bersama…
Deby tersenyum
getir mengingat saat-saat itu. Meskipun begitu saat itu Aldo tetap
menepati janjinya ia tidak pernah lost contact dengan Aldo, saat liburan pun
mereka tetap bertemu. Itu yang Deby senangi dari Aldo, Aldo tidak pernah
mengingkari janjinya, dia selalu menepati janjinya, karena menurut Aldo “Janji adalah janji, penting atau tidak janji
harus tetap di tepati.”
Deby berjalan gontai menelusuri jalan ramai
kota Bandung. Ia memutuskan memasuki sebuah café
yang cukup terkenal di Bandung. Ia memilih tempat duduk yang berada di pojok
ruangan, cukup sepi keadaan café
terebut hanya ada beberapa pelanggan saja. Ia melambaikan tangan kepada salah
satu pelayan café itu.
“Mau pesan apa, mbak?”
“Saya pesan vanillalate
dan roti bakar pisang keju saja.”
“Baiklah, tunggu sebentar pesanan akan segera
datang.” Kemudian pelayan itu melenggang pergi meninggalkan Deby.
Ia ingat betul kejadian saat tanggal 20 agustus
bulan lalu, saat dimana ia dan Aldo memutuskan untuk bertemu di café ini untuk membicarakan ulang tahun
Deby yang hanya tinggal 5 hari lagi. Deby memaksa Aldo untuk bertemu dengannya,
ia ingin meminta saran dan persetujuan dari Aldo tentang acara ulang tahunnya. Aldo
yang memang tidak pernah bisa menolak keinginan Deby pun menyanggupi untuk
bertemu dengannya.
Tak lama kemudian pesanannya datang, ia meniup
kepulan asap dari secangkir vanillalatenya,
kemudian menyesapnya perlahan, merasakan sensasi hangat, manis dan sedikit
pahit dari minumannya itu. Kemudian ia menyuapkan roti bakar pisang kejunya ke
mulutnya, dan mengunyah secara perlahan.
25 Agustus 2012
Deby mematut dirinya di depan cermin, ia kini memakai dress berwarna peach
selutut dengan renda di bagian pinggangnya. Rambut kriting gantungnya diikat
seperti buntut kuda dengan pita berwarna senada dengan dressnya. Hari ini
adalah hari yang ia tunggu, hari ulang tahunnya yang ke 17, ia sangat bahagia
mengingat acara ulang tahunnya ini sepenuhnya di rancang oleh Aldo. Deby
melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Tinggal 1 jam
lagi acara di mulai, tapi Aldo belum juga menunjukan batang hidungnya, padahal
3 jam yang lalu saat ia menelponnya Aldo sedang dalam perjalanan. Sebenarnya
saat itu Aldo sedang sibuk dengan tugas-tugas akhir semesternya, namun ia terlanjur
berjanji pada Deby untuk datang dan harus hadir dalam acara ulang tahun Deby.
Satu jam berlalu dari acara pesta ulang tahun Deby, Aldo masih saja belum
sampai. Deby terlihat sangat khawatir, beberapa kali Deby menghubungi Aldo namun tak pernah ada jabawan. Ia sangat
panik, sampai akhirnya ponselnya berdering menandakan ada panggilan masuk. Sederet
nama yang sudah tak asing lagi tertera di layar ponsel Deby. Deby langsung
mengangkatnya dengan senyuman merekah namun tak berapa lama wajahnya berubah
menjadi pucat, air matanya langsung jatuh menurui pipi dan dagu tirusnya. Ia
menjatuhkan tubuhnya dengan menangis terisak, tidak percaya dengan apa yang ia
dengar barusan dari seorang yang menelponnya tadi…
‘Apa…? Aldo.. itu tidak mungkin……’
“Hey By, ada apa? Siapa yang menelponmu barusan?” suara Dimas terdengar panic
begitu melihat adiknya terduduk sembari menangis histeris.
“Mas.. ini bohong kan? Mas… Aldo…”
“Hey Aldo kenapa?” karena tidak ada jawaban dari Deby, Dimas mengambil
ponsel Deby mencoba berbicara pada orang diseberang sana.
Setelah tau jawabannya, Dimas langsung merengkuh tubuh adiknya, memberi
kekuatan pada Deby. Deby menangis semakin histeris bahunya mengguncang, hatinya
sakit, kenapa Aldo pergi begitu cepat, kenapa Aldo meninggalkannya. Jahat
sekali… apa ini kado terakhir dari Aldo untuknya? Tuhaaaaan kenapa di saat hari
special ini Deby harus kehilangan seseorang yang sangat berharga untuknya? Kenapa
Kau mengambilnya begitu cepat…..
Deby tersadar dari lamunannya saat suara
gemuruh hujan terdengar di indera pendengarannya. Ia menoleh kearah jendela
mendapati hujan deras telah mengguyur kota Bandung. Ia menghela nafas, kemudian
meraih vanillalatenya –yang tinggal
setengah- dan meminumnya. Tak lama kemudian hujan mereda, ia mengambil tasnya
dan meninggalkan beberapa lembar uang kertas di atas meja lalu berjalan keluar
meninggalkan café itu.
Deby berjalan tanpa arah, pandangannya
mengosong disertai ai matanya yang tak berhenti jatuh dari pelupuk mata
sipitnya. Dengan setangah sadar Deby kini sudah berada di salah satu pusaran
milik seseorang yang sangat Deby kenal, Makam Aldo. Keluarga Aldo sengaja
menjadikan Bandung untuk tempat peristirahatan terakhir bagi Aldo, jadi Deby bisa
kapan saja mengunjungi Aldo.
Deby tersenyum miris menatap pusaran
dihadapannya, kemudian ia berjongkok dan mencium batu nisan bertuliskan ‘ALDO
BAGASKARA’.
“Do, kau tahu tidak? Aku merindukanmu… apa kau
juga rindu padaku?” Deby bergumam lirih, siapapun akan mengira Deby sudah gila
karena berbicara sendiri dengan nisan orang yg sudah mati.
“Do… Kau jahat.. kau memberikan kado terakhir
yang sangat mengerikan.. aku membencimu.” Deby kembali terisak.
“Aldo………”
“Deby...” sayup-sayup Deby mendengar seseorang
memanggilnya.
“Ini aku, berhentilah menangisiku,
aku tidak pergi kemana-mana, aku ada untukmu. Kau mempunyai masa depan yang
lebih panjang, jangan jadi seperti ini. Kau harus bangkit dari masalalu mu,
masa depanmu lebih penting. Jadikanlah masa lalumu sebuah kenangan, jangan kau
bawa masa lalumu di masa depan, cukup kau kenang. Aku tidak mau menjadi beban
untukmu. Aku kini hanya akan menjadi kenangan di masalalu untukmu. Berjanjilah
untukku kau akan meraih masa depanmu, aku yakin kau bisa tanpaku…..” tanpa ada
kesempatan untuk Deby berbicara, suara itu telah menghilang. Bulu kuduknya meremang, ia sangat mengenal
suara itu, ia yakin itu suara Aldo, Deby tersadar ia menoleh kekanan dan kekiri
mencoba mencari asal suara tersebut, namun nihil di pemakaman itu tidak ada
siapa-siapa selain dirinya. Ia menoleh cepat pada pusaran Aldo, dan teringat
dengan kalimat yang barusan Aldo ucapkan padanya “Kau harus bangkit dari masalalu mu, masa depanmu lebih penting” Ya itu benar, ia tidak boleh terlarut di masa
lalunya, walau bagaimanapun ia meiliki masa depan yang lebih penting, kemudian
ia teringat kembali ucapan Aldo yang lain “Aku
tidak mau menjadi beban untukmu. Aku kini hanya akan menjadi kenangan di
masalalu untukmu” dada Deby tiba-tiba menjadi sesak. Kenangan dimasa lalu,
itu terdengar sangat mengerikan ditelinganya, bagaimana bisa Aldo hanya akan
menjadi kenangan dimasa lalu untukknya? Itu tidak mungkin!
Deby mendesah ketika mengingat kembali ucapan
Aldo yang merupakan kalimat terakhir darinya “Berjanjilah untukku kau akan meraih masa depanmu, aku yakin kau bisa
tanpaku” Ia memejamkan matanya, seolah mendapat pencerahan wajahnya berubah
berseri, matanya kini kembali memancarkan sinarnya. Ya Aldo benar, ia tidak
boleh terpaku pada kenangan masa lalunya, dengan atau tanpa Aldo ia harus bisa
menjalani hidupnya. Toh sekarang ia tahu, kalau Aldo tidak benar-bena pergi
meninggalkannya, ia selalu ada untuknya, dihatinya. Deby tersenyum, kemudian ia
berdiri dari duduknya dan mulai melangkah pergi meninggalkan batu nisan
bertuliskan nama seseorang yang selalu berhasil membuatnya kembali bersemangat “ALDO
BAGASKARA”.
“Ini aku, berhentilah
menangisiku, aku tidak pergi kemana-mana, aku ada untukmu. Kau mempunyai masa
depan yang lebih panjang, jangan jadi seperti ini. Kau harus bangkit dari
masalalu mu, masa depanmu lebih penting. Jadikanlah masa lalumu sebuah
kenangan, jangan kau bawa masa lalumu di masa depan, cukup kau kenang. Aku
tidak mau menjadi beban untukmu. Aku kini hanya akan menjadi kenangan di
masalalu untukmu. Berjanjilah untukku kau akan meraih masa depanmu, aku yakin
kau bisa tanpaku” – Aldo Bagaskara.
***
Tadaaaa ini cerita lebay yakali '-' ini sebenernya cerita dibikin buat ganjur (Ganesha Jurnalis) di sekolah, haha. temanya kemarin dan hari ini eh apa ya lupa--" ceritaku udah sesuai tema ga? wkwk ah serah sih gatau .-.ya udah kasih komen aja ya yg baca jangan jadi silent reader plis u,u
0 comments:
Posting Komentar