Bintang, dapatkah kau rasakan kepedihanku malam ini? Dapatkah kau rasakan penyesakan yang menggebu-gebu dalam hatiku ini? Aku sakit, aku sedih, rasanya hatiku seperti terhantam oleh batu yang besar saat melihatnya tadi memeluk seorang gadis yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku senang melihatnya? Atau haruskah aku marah? Haruskah aku senang meihat pemuda yang sangat kusukai memeluk sahabatku sendiri? Atau haruskah aku marah padanya, sedangkan saat ini aku bukanlah siapa-siapa untuknya. Aku hanya pengagum rahasianya, yang menjadi sangat pengecut tidak berani mengungkapkannya sejak aku bersekolah SMP dulu. Ya, sudah hampir dua tahun aku memendam perasaan ini, hingga sekarang aku tahu kalau ternyata sahabatku sendiri menyukai pemuda itu. Kamu memang bodoh Bulan! Sebagai sahabat, seharusnya kamu banyak bercerita pada Karina tentang perasaanmu itu. Bukankah diantara sahabat itu tidak ada kata rahasia sedikitpun? Jika Karina mengetahui hal ini, mungkin ia akan marah besar padamu, karena ia merasa tak dianggap sebagai sahabat. Aku sadar kali ini, Karina tidak pernah sedikitpun merahasiakan sesuatu dariku, tentang apapun, dan salah satunya tentang perasaannya pun ia tidak pernah menutup-nutupinya padaku. Ia selalu bercerita tentang perasaannya, sampai saat itu, saat ia bercerita padaku bahwa ia sedang menyukai seorang pemuda.
“Lan, aku suka sama seseorang.” Katanya sedikit malu-malu. Saat itu aku dan Karina sedang berada di kantin sekolah pada jam istirahat.
“Siapa Rin?” Tanyaku.
“Rama...”
“Uhuk...” Sontak aku tersedak karena saat itu aku sedang menyuap baso yang baru saja Mang Jaja antarkan.
“Lan? Kamu kenapa?” Tanya Karina, sepertinya dia sangat khawatir melihatku. Aku langsung mengambil segelas orange juice yang tadi ku pesan bersamaan dengan basoku.
“A-aku tidak apa-apa. Em.. Maksudmu Rama Airlangga?” aku bertanya dengan hati-hati. Lalu Karina mengangguk dengan disertai perubahan warna di pipinya, bersemu merah. DEG! Saat itu juga hatiku rasanya seperti di himpit oleh dinding yang sangat besar, sesak! Sesak sekali, ingin sekali aku menangis, namun sekuat hati aku menahannya, aku tak mungkin menangis didepan Karina saat itu.
Aku menenggelamkan wajahku diatas lipatan tanganku dimeja belajar. Kali ini air mataku sudah meluncur membasahi kedua pipiku tanpa izin dariku. Mereka keluar seenaknya dari pelupuk mataku, padahal sekuat mungkin aku menahannya. Aku menengadahkan wajahku, menatap hamparan langit kehitaman khas malam hari. Oh Bintang! Tolonglah aku, bukankah kau adalah sahabat terbaiknya Bulan? Dimana ada Bulan di situ ada Bintang, dan di mana ada Bintang di situ ada Bulan, benar kan? Tapi kenapa saat ini kau tak nampak sama sekali? Padahal langit kali ini sangat cerah. Bulan disini sangat membutuhkanmu! Tolong datang. Aku semakin terisak. Aku merasa sangat kesepian, hanya Bintang lah yang mampu menemani malamku, ia sahabatku meskipun ia hanya salah satu dari benda langit, yang tak mampu berkata apa-apa, namun aku merasa senang jika berbagi padanya.
Sahabat tempat berbagi saat suka maupun duka. Sahabat selalu ada menemanimu, di sampingmu, di hatimu.
***
Aku berjalan gontai disepanjang koridor sekolah. Aku tahu, penampilanku saat ini pasti sangat hancur. Itu semua dapat kulihat dari tatapan aneh teman-temanku yang melihat kearahku. Bagaimana tidak? Mataku saat ini pasti sangat sembab mungkin sudah sebesar bola pingpon, efek menangis tadi malam. Lalu, pasti dibawah mataku terdapat kantung mata berwarna hitam yang kebanyakan orang sering menyebutnya mata panda, ini karena semalam aku tidak bisa tidur, memikirkan perasaanku sendiri. Kau memang bodoh Bulan!
“Hey Bulan!.” Sapa seseorang dari belakangku, seraya menepuk pundakku. Aku menoleh dengan malas-malasan padanya. Orang yang telah berdiri dihadapan ku itu ternyata Karina, orang yang membuat ku menangis semalaman hingga tidak bisa tidur.
“Dari tadi aku memanggilmu tau, kamu kenapa sih? Kenapa wajahmu sangat kusut? Kamu habis menangis?” Tanyanya dengan nada cemas. Aku menghela nafas, aku mengalah, aku tidak tega rasanya untuk marah saat meliahat kekhawatiran muncul di wajah Karina, terlebih itu untukku. Aku tersenyum tipis padanya, lantas menggeleng. “Tidak, tadi malam aku menonton film sedih sampai larut malam, jadi wajahku sekarang seperti zombie kan? Hehe.” Kali ini aku terpaksa berbohong pada Karina. Bulan! Sejak kapan Ayah dan Ibu mu mengajarkanmu untuk berbohong seperti ini? Tapi tidak mungkin aku berkata jujur padanya jika tadi malam aku menangis karenanya. Karena ia –akan- merebut pemuda yang selama ini ku sukai. Oh Tuhan, Bulan! Apa-apaan kamu ini, kali ini kamu berprasangka tidak baik pada sahabatmu sendiri. Ada apa sebenarnya padaku? Jangan sampai cinta membutakan semuanya! Jangan sampai aku membenci Karina karena cinta, karena pemuda yang kita sukai sama, itu tidak boleh terjadi.
Kendalikan lah cinta, jangan sampai cinta mengendalikanmu.
Entah apa yang membawaku kemari. Ke tempat dimana banyak buku-buku tertata rapi diatas rak buku dengan bebagai jenis. Perpustakaan sekolah. Tempat ini termasuk dalam kategori tempat yang jarang ku kunjungi selain Aula olah raga, karena aku tidak begitu menyukai olah raga dan membaca buku. Tapi tak tahu mengapa saat ini aku ingin sekali mengunjungi tempat ini. Cukup lama juga aku tak pernah berkunjung kemari saat terakhir kali aku mengunjunginya pada waktu pelajaran bahasa indonesia semester lalu, ternyata memang sudah sangat lama. Karena sudah terlanjur datang ketempat ini, mau tak mau akupun harus masuk, karena tak mungkin jika aku kembali lagi, mungkin saja disini aku bisa menemukan sesuatu yang baru, buku-buku baru seperti novel keluaran baru. Ah dasar bodoh! Aku menepuk jidatku sendiri, memangnya ini toko buku yang mengeluarkan berbagai kumpulan novel terbaru? Kamu ini ada-ada saja Bulan. Aku terkekeh sendiri, kenapa aku sangat bodoh seperti ini? Aku melangkahkan kaki memasuki perpustakaan. Aku sedikit bingung, apa yang akan aku lakukan disini? Ah, lebih baik aku mencari kumpulan novel saja. Pikirku.
Aku akhirnya menemukan apa yang ku cari, sebuah novel yang sepertinya menarik untuk ku baca. Sayup-sayup aku mendengar seseorang berbicara pelan, namun aku masih bisa mendengarnya, dibalik rak buku ini. Sepertinya aku mengenal suara siapa ini, aku mengintip dari celah-celah rak buku itu. Kulihat Rama tengah bebicara, lebih tepatnya mungkin ia sedang menceritakan sesuatu hal yang lucu, karena aku bisa mendengar lawan bicaranya terkekeh geli. Aku melirikan mataku pada si lawan bicara Rama, seketika hatiku tertohok melihat siapa yang ada disamping Rama, yang menjadi lawan bicaranya, ternyata dia adalah Karina. Karina terlihat sedang menahan tawa agar suaranya tidak terdengar oleh petugas perpustakaan. Mekera terlihat sangat akrab, aku iri melihatnya. Sekarang aku sudah tak tahan lagi, air mataku kini sudah berada dipelupuk mataku dan siap untuk meluncur. Cepat-cepat aku berlari keluar dari perpustakaan.
Jika cinta telah membuat hatimu sakit. Mengapa kamu tetap mempertahankan cinta itu?
Sejak kejadian itu, aku mencoba menghindar dari Karina, maupun Rama. Dalam kelas aku hanya diam, walaupun sudah beberapa kali Karina bertanya padaku, apa yang menyebabkan aku menjadi seperti ini. Aku hanya bilang bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak terjadi apa-apa. Aku memang bodoh kan belaku seperti ini? Sifatku sangat kekanak-kanakan. Tapi harus bagaimana lagi, hatiku sudah terlalu sakit, aku sudah lelah terus-terusan menahannya. Dan jika pulang sekolah ataupun istirahat, aku lebih memilih untuk pergi sendiri, lebih tepatnya aku menyembunyikan diri di atap sekolah. Apa yang aku lakukan disana? Entahlah, disana aku hanya duduk bersandar pada dinding sambil menikmati semilir angin yang berhembus sejuk menerpa wajahku.
Siang ini pun aku akan kembali mengunjungi tempat persembunyianku itu, atap sekolah. Siang ini sudah sangat sepi, tentu saja, karena semuanya sudah pulang. Tapi cuaca kali ini tidak cerah, melainkan mendung. Langit kali ini di tutupi oleh awan berwarna hitam, mungkin sebentar lagi akan hujan, pikirku. Tak perlu menunggu lama, rintikan air yang turun dari langit itu mulai turun membasahi daun-daun pohon secara beraturan, semakin membesar dan membesar. Hujan turun semakin deras, angin sejuk yang selalu kutunggu kini menghilang. Angin saat ini berhembus terlalu kencang, hingga membuatku bergidik kedinginan. Aku memeluk tubuhku sendiri. “Sial!” Rutukku. Aku lupa membawa jaket, karena aku tak tahu jika cuaca hari ini akan menjadi seperti ini.
Tiba-tiba tubuhku merasa hangat. Seseorang memakaikan jaketnya padaku, dari belakang. Aku berbalik, dan terkejut saat mendapati siapa yang telah berdiri tegak dihadapanku, dengan kedua tangannya dimasukan kedalam saku celananya.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Lan? Kenapa belum pulang?” Tanyanya. Orang itu adalah Rama. Kenapa dia masih ada disini? Dan kenapa dia datang ketempat persembuanyianku? Aku langsung memalingkan wajahku.
“Aku belum mau pulang.” Jawabku ketus. “Lalu, apa yang kamu lakukan disini?” lanjutku.
“Aku tadi di suruh Pak Mamat untuk menyimpan berkas-berkas yang tidak terpakai ke gudang. Dan saat itu aku melihat seseorang berdiri disini. Ku kira hantu, ternyata itu kau.” Jelasnya.
Aku hanya membulatkan mulutku membentuk huruf O, tanpa mengeluarkan suara, dan tetap tidak memalingkan wajah.
“Bulan, kamu kenapa sih? Kamu lagi ada masalah sama Karina?” Tiba-tiba Rama bertanya seperti itu, sontak aku menoleh padanya, lalu merubah ekspresiku menjadi sebiasa mungkin.
“Tidak ada apa-apa.” Jawabku singkat, lalu kualihkan pandanganku kesampng kanan. Menatapi rintik-rintik hujan yang belum juga mereda.
“Kamu tahu? Dia sangat mengkhawatirkan mu. Dia pikir, dia mempunyai salah padamu, karena sikap kamu yang akhir-akhir ini aneh, seperti menjauhinya.”
Aku diam seribu bahasa. Tak mampu mengucapkan apa-apa. Karena sesungguhnya, dalam posisi ini aku lah yang salah. Karena masalah sepihak, aku menghindarinya. Karena keegoisan hatiku aku menjauhinya. Karena aku terlalu memikirkan perasaanku aku membencinya. Oh Bulan, apakah benar kali ini kamu benar-benar telah membencinya? Mataku terasa panas, sebentar lagi mungkin aku akan menangis. Aku mengerjap-erjapkan mataku agar air mataku tidak jadi keluar.
“Maaf, bukannya aku ingin mencampuri urusan kalian. Tapi jika kalian mampunyai masalah, lebih baik kalian menyelesaikannya secara baik-baik. Kalian itu sudah dewasa, dan pasti pikiran kalian pun sudah dewasa. Rasanya tidak enak bukan, kalau kita bertengkar dengan sahabat kita sendiri? Karina sering mengeluh padaku tentang kamu yang bersikap aneh padanya. Berbaikanlah dengannya, Bulan.”
Apa katanya? Dia terlalu memikirkan perasaan Karina dari pada memikirkan perasaanku kan? Aku menghela nafas, menetralkan emosiku. Aku menoleh padanya. Pemuda ini. Karena pemuda inilah yang membuat hubunganku dengan Karina seperti ini. Aku menatapnya dingin. Sekali lagi aku menghela nafas, kali ini aku menghela nafas berat. Lalu melepas jaketnya, kemudian meraih tas ku yang tergeletak di bawah.
“Terima kasih atas sarannya. Tapi aku dan Karina baik-baik saja. Ini jaketmu, terima kasih kamu telah meminjamkannya padaku. Aku pulang.” Ucapku dengan suara yang sedkit bergetar, seraya menyodorkan jaket yang tadi dipinjamkannya untukku. Kemudian aku berlari meninggalkannya.
Haruskah kita melepas cinta yang sudah lama di pendam, demi sahabat sendiri?
Aku terus memikirkan perkataan Rama tadi siang. Sejujurnya aku pun merasa bersalah, sangat sangat merasa bersalah pada Karina. Sifatku ini memang sangat kekanak-kanakkan. Seharusnya aku menyelesaikan ini dengan baik-baik bersama Karina. Seharusnya aku berkata jujur pada Karina. Aku berjalan mondar-mandir didalam kamarku. Entahlah sudah keberapa kalinya aku seperti ini. Mencoba untuk duduk, tapi tetap saja aku kembali berdiri dan kembali mondar-mandir lagi. Aku mengalihkan pandanganku pada arah jendela, dan menatap hamparan langit malam yang kali ini di hiasi oleh berjuta-juta bintang. Aku tersenyum tipis seketika melihat ribuan bintang berkelap-kelip di atas langit. Ku langkahkan kakiki mendekati jendela.
“Sudah lama aku menunggu kedatanganmu, Bintang.” Ujarku, berbicara pada jutaan bintang dilangit. Sudah tahu kan apa jawabannya? Jutaan bintang disana tentu saja tidak akan menjawab ‘ya’ atau ‘ada apa Bulan’ itu terlalu mengerikan bagiku. Tapi aku bisa merasakannya dari kerlipan bintang-bintang itu.
“Kau tahu apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus meminta maaf pada Karina dan berkata yang sejujurnya?” Sekali lagi aku berbicara sendiri pada bintang-bintang itu. Aku diam sejenak, seolah-olah aku menunggu jawaban dari bintang-bintang itu, dan berfikir sendiri.
Aku menghela nafas, lalu menggelembungkan pipiku. “Baiklah, aku sudah menemukan jawabannya. Aku akan meminta maaf padanya dan berkata yang sejujurnya pada Karina. Benarkan?” Kataku, seraya menatapi berjuta-juta hamparan bintang yang berkelap-kelip di atas sana. Kemudian aku tersenyum tipis.
***
Aku sudah membulatkan tekadku untuk meminta maaf dan berkata jujur pada Karina. Dan akupun sudah siap menerima resikonya. Mungkin saja Karina akan marah padaku, tapi tidak apa-apa, aku bisa menerimanya, toh inikan memang salahku. Aku berjalan disepanjang koridor sekolah menuju kelasku. Suasananya tetap seperti biasa, tidak ada yang berubah. Aku menghentikan langkahku saat aku berada didepan pintu kelas. Aku sempat ragu, tapi ku gelengkan kepalaku lalu aku menarik nafas. Kemudian aku melangkahkan kakiku memasuki kelasku dengan mantap. Aku melihat Karina sudah menempati meja kami. Dia memang selalu datang pagi-pagi. Aku merasa sedikit canggung.
“Pagi Rin.” Sapaku padanya, di sertai seulas senyuman ipis yang kuharap senyuman itu tidak terlihat berbeda.
Karina menoleh kearahku, ia mengerutkan kening, tertera jelas diwajahnya kalau saat ini ia sedang menatapku heran. “Eh? Pagi Lan.” Jawabnya, kemudian tersenyum, namun senyumannya terlihat kikuk. Lalu aku duduk di bangku ku dan memasukan buku-buku ku ke kolong meja. Hening. Suasana kelas pagi ini sangat hening yang terdengar hanya kicauan burung diluar sana. Karena didalam kelas hanya ada beberapa siswa saja, tentu saja karena ini masih terlalu pagi. Aku tahu, aku maupun Karina saat ini pasti sama-sama merasa canggung.
“Rin..” Aku mulai membuka suara. Karina menoleh padaku. Baiklah Bulan, ayo ungkapkan semuanya agar masalahnya selesai!
“A-aku minta maaf atas perlakuanku akhir-akhir ini. Maafin aku karena aku ngehindarin kamu tanpa ada sebab yang pasti. Aku terlalu egois. Maafin aku.” Aku menundukan kepala. Aku takut akan perubahan ekspresi pada Karina. Karina masih diam, mungkin dia nunggu penjelasan selanjutnya dariku.
“Aku begini karena aku iri sama kamu, aku cemburu sama kamu. Aku cemburu liat kamu deket sama Rama. Aku juga salah, aku ga pernah ngasih tau kamu kalo sebenernya orang yang aku suka sejak dulu itu Rama.” Aku mengangkat wajahku, menatap Karina. Dari ekspresinya dia sepertinya terkejut mendengar pengakuanku.
“Tapi sekarang aku sadar. Rama bukan segalanya buat aku. Kamu lah yang terpenting buat aku sekarang. Maafin aku, aku tau kamu pasti marah sama aku. Aku bener-bener minta maaf Rin.” Akmu menundukkan kepalaku –lagi- kali ini aku hampir menangis. Tapi tiba-tiba Karina menubrukku dan memelukku. Dia terisak. “Seharusnya aku yang meminta maaf padamu. Maaf karena ternyata selama ini aku melukai perasaan sahabatku sendiri.”
Kami menangis bersama dalam pelukan. Tapi kini aku merasa lega. Ternyata Karina tidak marah padaku. Bulan kamu seharusnya bersyukur memiliki sahabat seperti Karina. Kamu lhat sekarang? Karina justru meminta maaf padamu, dia sama sekali tidak marah. Kemudian kami melepas pelukkan kami.
“Sebenernya semua ga seperti yang kamu bayangkan Lan, aku dan Rama hanya berteman. Karena aku tahu ternyata Rama sudah punya pacar. Aku juga sama seperti kamu hanya bisa memendamnya. Tapi kali ini aku harus melupakannya, dan mencari yang baru.” Kata Karina, yang membuatku terkejut. Jadi Rama sudah punya pacar? Lalu kenapa mereka terlihat sangat akrab jika bersama? Ah tapi sudahlah itu sudah berlalu. Toh aku juga sekarang sudah merelakan Rama, dan mencoba untuk melupakannya. Sekarang aku dan Karina resmi berbaikan.
Sahabat sejati tidak akan pernah marah, melainkan ia akan meminta maaf walaupun ia tak salah.
Cuaca malam ini seperti malam kemarin, cerah. Dan di taburi berjuta-juta bintang. Mungkin lebih banyak dari pada kemarin. Malam ini aku keluar rumah dan duduk di taman halaman rumah. Sengaja, aku ingin menikmati malam ini disini, menatapi hamparan bintang-bintang itu. Aku merebahkan tubuhku di atas rumput taman dengan lipatan tangan sebagai bantalannya. Aku tersenyum menatap kerlipan bintang-bintang itu. Saat seperti ini lah yang mampu membuat perasaanku tenang, saat dimana aku bisa melihat bintang-bintang itu berkerlap-kerlip menghiasi langit malam. Aku memejamkan mataku, dan merasakan bahwa saat ini bintang-bintang itu sedang berada disampingku, menemaniku. Aku sangat menyukai bintang. Bintang selalu menemani bulan sampai kapan pun. Maka dari itu aku akan selalu bersama bintang.
Percayalah, jika kau percaya. Maka bintang akan selalu ada untukmu.
0 comments:
Posting Komentar