Hening, dalam ruangan itu tak ada satu suarapun yang keluar, hanya helaan nafas masing-masing penghuni ruangan itu dan suara kebetan halaman komik yang Rio baca, serta suara hentakkan kecil dari kaki Alvin, selebihnya hanya ada suara desauan angin dan goresan tinta di buku catatan shilla.
Setelah hampir 15 menit shilla menyalin catatan Alvin, akhirnya ia telah selesai menyelesaikannya. Ia menghela napas berat, lalu mengibaskan tangannya didepan wajahnya, ia merasa gerah.”huh akhirnya selese.” Gumamnya, lalu ia menegakkan duduknya meregangkan otot-ototnya yang sedikit kaku, dan akhirnya menoleh pada Alvin yang kini tengah memandangnya dengan ekspresi datar, shilla melengos lalu menundukkan kepala, pasti kini wajahnya mulai lagi berubah warna, sungguh ia tak percaya untuk beberapa detik mata beningnya bertatapan langsung dengan mata coklat Alvin, ia kini tengah menahan rasa gembiranya, berkali-kali ia mengatur nafasnya untuk menetralkan rasa degupan jantung yang berdentum keras. Ah malu! Betapa salah tingkahnya ia sekarang ini, rasanya ia ingin sekali berlari menutupi kedua wajahnya yang ia yakini sekarang sudah berubah menjadi merah. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, lalu memejamkan mata dan merapalkan do’a di dalam hatinya suapaya ia tidak salah tingkah saat berbicara dengan Alvin.
Shilla membuka matanya lalu menarik nafasnya sekali lagi, ia menoleh pada Alvin yang kini masih dengan tenang dan tetap dengan posisi semula memandang ke luar jendela. Shilla tersenyum lalu menyodorkan buku –pinjamannya- itu pada Alvin, lantas berujar “nih vin, makasih ya udah minjemin, hehe.” Sembari memasang senyuman yang manis.
Alvin menerimanya dengan canggung, tapi ia memaksakan sebuah senyuman yang ia yakini bahwa senyumannya terlihat kikuk, lalu ia memasukan bukunya kedalam tas ranselnya, dan berdiri bersiap untuk pulang. Ia berniat untuk berbalik badan dan mengucapkan selamat tinggal pada shilla, atau.. ia bisa mengajak gadis itu untuk pulang bersama. Ia kini tengah menghadap shilla, gadis itu masih sibuk membenahi alat-alat tulisnya, entah mengapa lidah Alvin sekarang terasa begitu kelu, rasanya susah sekali untuk mengeluarkan satu katapun. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal, ko gue jadi gini susah banget buat ngomong, shiit, umpatnya dalam hati. Baru saja Alvin memberanikan diri untuk membuka mulutnya dan mengajak gadis ini untuk pulang bareng dengannya, tetapi suara lain telah mendahuluinnya, suara baritone itu telah lebih dulu berbicara dan mengajak gadis itu pulang bersama, Rio, murid baru itu. Yang Alvin katahui dari teman-temannya kalau Rio itu adalah teman semasa SD shilla.
“shill pulang bareng gue yu, sekalian kita kan searah, gue juga pengen liat rumah lo lagi, udah lama ga liat, tadi pas berangkat ga sempet nengok rumah lo.”
Shilla yang masih membenahi alat tulisnya menoleh pada Rio, nampaknya shilla berfikir sejenak menimang ajakan Rio, lalu ia tersenyum sembari mengangguk mengiyakan ajakan Rio, “oke deh, udah lama juga kita ga pulang bareng, elo bawa apa motor apa mobil?”
Rio yang kini telah berdiri dihadapan shilla tersenyum senang mendengar jawabannya, lalu ia merogoh sakunya mengambil sebuah kunci, dan menggantungnya di telunjuknya, sebuah kunci motor. “gue bawa ini, motor.” Ucapnya.
Mata shilla berbinar saat Rio bilang padanya kalau ia membawa motor, sebelumnya ia tidak pernah pulang bareng cowo, apalagi dia akan dibonceng seorang pemuda di motornya, dan yang jelas berdua. Shilla mengangguk dengan cepat, dan secara antusias ia menyatukan kedua tangannya didepan dada, lalu bergumam “baru kali ini gue diajak pulang cowo, terus pulangnya pake motor.” Dengan polosnya, pandangannya menerawang kelangit-langit atap sekolah.
Rio terkekeh mendengar kalimat yang barusan shilla cetuskan, ia menggeleng tak percaya dan bergumam “jadi lo belum pernah diajak pulang cowo? Belum pernah boncengan sama cowo? Jadi gue dong yang pertama kali ngajak lo pulang bersama?” runtutan pertanyaan rio dan sedikit cibiran pada shilla, membuat shilla merengut dan mengembungkan kedua pipinya.
“ga gitu juga kali, ada banyak yang ngajak gue pulang bareng, tapi guenya ga mau.” Belanya.
“oh gitu.. terus kenapa sekarang lo mau pulang bareng gue? Kenapa lo nerima ajakan gue? Hoyoloooh.” Ujar Rio dengan nada menggoda shilla sembari menunjuk shilla dengan tatapan curiga yang dibuat-buat.
Shilla sedikit gelagapan, ia sendiri tak tahu jawaban apa yang tapat untuk menjawab pertanyaan Rio barusan, kenapa juga ya dia mau nerima ajakan Rio? Atau mungkin karena ia percaya pada Rio dan sudah mengenal Rio lama? Entahlah karena menurutnya jawaban itu sangat tepat untuk digunakan sekarang.
“ya..ya.. mungkin karena gue udah kenal lo lama, dan gue juga udah percaya sama lo, jadi ya gue nerima ajakan pulang bareng lo.” Jawab shilla sembari terus membereskan alat tulis -yang tinggal kotak pensil itu- kedalam tasnya, lalu menutup tasnya dan menyampirkan dipundaknya.
“halah hahaha, tapi ko muka lo merah shill?” goda rio lagi.
Shilla masih terlihat salah tingkah, ia mencubit lengan Rio hingga sang empunya meringis kesakitan.
“udah deh yo, jangan mojokin gue, cepet deh balik.”
“aduh, cubitanlo ya shill menyakitkan tau ga, heh siapa coba yang mojokin elo, lonya aja yang ngerasa terpojoki, weee.” Rio menyentil pelan hidung shilla dengan telunjuknya, lalu menjulurkan lidah.
Shilla hanya tertawa sembari mengusap hidungnya, ia menatap Rio dengan senyuman yang hangat, sudah beberapa bulan belakangan ini semenjak ia mengakui perasaannya pada Alvin ia sudah jarang bergaul atau begurau dengan cowo kecuali cakka dan iel, yang notebenenya mereka cowo kedua temannya, sivia dan agni. Tapi itupun tak pernah seasyik ini. Ia begitu menyadari bahwa sejak ia menyukai Alvin ia menjadi lebih tertutup pada laki-laki, ia takut Alvin akan berfirikan negative padanya, padahal ia sendiri tahu kalo Alvin tak pernah meliriknya.
Merasa tak nyaman berada diruangan ini, Alvin mendesah pelan, ia tak nyaman berada dalam sebuah percakapan yang membuat hatinya perih untuk pertama kalinya. Hey apa ini? Apa kah ini rasa cemburu? Apakah sebenarnya Alvin telah menyukai shilla namun ia tak pernah mau mengakuinya? Sejak kapan itu terjadi padanya? Ah tak tahu lah, yang jelas ia sekarang ingin segera pergi dari tempat ini.
“eheeeem.”
Sebuah deheman membuat Rio dan Shilla sadar, bahwa ada seseorang yang mereka lupakan di ruangan ini, shilla dan rio menoleh bersamaan pada si pemdehem tadi.
Wajah Alvin berubah seketika, yang tadinya mulai bersahabat kini kembali memasang raut dingin. Alvin menatap mereka berdua bergantian, lalu bergumam “gue duluan.” Katanya lalu berjalan meninggalkan mereka.
Shilla menoleh pada Rio, ia menatap Rio tak mengerti, sedangkan Rio hanya mengangkat bahu.
“ayo deh shill pulang.” Rio menarik tangan shilla hingga shilla bangkit dari duduknya dan berjalan mengikuti Rio.
Rio masih menggenggam tangan shilla sampai parkiran, shilla pun tak melepas genggaman Rio, karena shilla merasa nyaman bergenggaman dengan Rio. Sepanjang koridor menuju parkiran Rio dan shilla tertawa kecil diiringi candaan Rio yang membuat shilla semakin melebarkan tawa dan senyumnya, tangan mereka pun masih berpegangan. Mereka mengayun-ayunkan tangan sembari terus melangkah, anak-anak rambut shilla bergoyang mengikuti gerakan tubuh shilla, kadang anak-anak rambut shilla menyentuh wajah Rio dengan lembut dan menebarkan aroma khas sampo shilla, strawberry.
Di sekolah ini hanya tinggal mereka berdua, jadi tak ada yang melihat mereka berdua, tak ada yang melihat iri mereka, tak ada yang melihat sinis mereka, karena memang sudah benar-benar sepi, hanya penjaga sekolah saja yang berada disana.
Tetapi, masih ada seseorang yang menatap dingin mereka di balik pohon besar di sebelah kelas mereka tadi. Pemuda itu masih dengan setia menatapi punggung keduanya yang semakin menjauh, dan hilang. Dia masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri, sebenarnya dia kenapa? Kenapa dia merasa begitu marah melihat gadis yang selalu mengjarnya kini bersama dengan laki-laki lain? Bukannya dia tidak pernah mempuanyai perasaan pada gadis itu? Atau.. sekarang rasa itu mulai muncul? Ah tapi ini sudah terlambat! Kenapa rasa ini harus muncul terlambat? Kenapa sekalian saja tak perlu muncul untuk gadis itu? Aaarrrrggghhh, umpatnya kesal seraya mengacak-ngacak rambutnya, lalu ia berjalan meninggalkan pohon besar itu dan berharap esok ia melupakan perasaannya pada gadis itu…
Di sepanjang perjalanan pulang, shilla tak henti-hentinya tersenyum, tangannya melingkar di pinggang Rio, kepalanya bersandar pada punggung Rio. Baru kali ini rasanya ia seperti ini, haha sedikit aneh, tapi wajarkan kalo ia terlihat begitu norak karena sebelumnya ia tak pernah berboncengan dengan laki-laki. Sekali lagi shilla menggulum senyumnya betapa senangnya hari ini, meskipun shilla tidak di bonceng oleh orang yang ia suka, tapi ia kini berpengalaman di bonceng seorang pemuda yang pernah ia sukai, apa bedanya kan Rio juga pernah ia sukai, bukan hanya Alvin.
Tunggu.. shilla terhenyak, apa jangan-jangan dia.. ah tak mungkin masa hanya begini saja shilla kembali menyukai pemuda ini, shilla melupakan pikiran yang barusan melintas di benaknya, lalu kembali tersenyum.
Sampai akhirnya mereka sampai di depan rumah mewah bernuansa ungu muda milik shilla, shilla tak hentinya menyunggingkan senyuman. Shilla melepaskan tangannya yang melingkar pada pinggang Rio, lalu turun dari motor Rio.
“thanks yah yo.” Ujar shilla sembari tersenyum.
Rio mengangguk, lalu berujar “yap sama-sama, rumah lo masih kayak dulu ya, malahan bunga-bunganya makin banyak, nyokap lo suka banget ya sama bunga kaya gituan.” Ia tersenyum, lalu melongokkan kepala melihat rumah –pekarangan- shilla.
Shilla ikut menengok kepekarangan rumahnya, lalu berkata “iya, mama demen banget, tiap pulang dari luar kota atau luar negri mama selalu bawa pulang bunga-bunga, padahal kebanyakan bunga-bunga mama ada yang sejenis, tapi kata mama biar ngebanyakin aja, aku bingung ga cape apa mama nyiramin berpuluh puluh bunga gitu, ckck.” Lalu ia berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“haha sama kali sama nyokap gue shill, nyokap gue juga demen banget sama yang namanya masak.” Rio ikut mengomentari hobby mamanya.
Shilla kembali menoleh pada Rio dan sedikit memonyongkan bibirnya. “kadang aku risih kalo mama marah-marah tanpa sebab karena tanamannya layu ataupun rusak, sampe orang rumah yang ga tahu menau tentang kerusakan tanaman mama kena imbasnya.”
“yah itu lah ibu-ibu, gue juga ga ngerti deh shill, haha.”
“hahaha, iya yo. Eh masuk dulu yuk ga enak ngobrol sambil berdiri gini.” Ajak shilla.
“ah ngga lah shill, gue pulang aja masih banyak acara nih, nanti kapan-kapan gue main deh..” katanya.
“oh gitu, ya udah deh kalo gitu.”
“eh shill besok gue jemput lo ya, kita berangkat bareng ya.” Ajak Rio.
“emm, tapi ga ngerepotin nih?” Tanya shilla ragu.
“haha ya ngga lah, besok gue jemput jam setengah tujuh ya.” Kata Rio seraya menggunakan helmnya kembali –yang sebelumnya tadi sempat dibuka.
Shilla hanya mengangguk sembari tersenyum. Rio pun mulai menyalakan mesin motornya.
“gue pulang ya shill.” Katanya berpamitan.
Shilla mengangguk “hati-hati ya.” Katanya sebelum Rio berangkat. Ia melambaikan tangannya saat Rio mulai menjalankan motornya.
Lalu shilla masuk kedalam rumahnya dan dengan senyuman yang merekah di bibirnya. Percakapannya dengan Rio tadi membuatnya senang, rasanya ia merasa nyaman berada didekat Rio.
Ia berjalan melewati ruang tamu, ruang keluarga, lalu hendak saja ia akan meniti anak tangga yang pertama mamanya berdehem hingga shilla menoleh pada mamanya, lalu menghampiri mamanya dan mencium tangan mamanya.
“udah pulang? Tadi pulang sama siapa?” Tanya mamanya.
Shilla sedikit terkejut, dari mana mamanya tahu kalo ia tadi di antar pulang cowo, karena sebelumnya mama ga pernah liat shilla pulang bareng temannya apalagi dengan seorang pemuda.
“hah, ee itu tadi sama temen..” jawabnya sedikit terbata, melihat raut muka mamanya yang belum terlihat puas dengan jawabannya tadi, shilla kembali berkata “itu loh mah Rio anaknya tante Anggi sama om Raditya Haling, dia anak baru di kelas aku, terus tadi sekalian aja pulang bareng.” Jawab shilla, sengaja ia membawa nama kedua orang tua Rio karena mamanya pasti mengenal mereka dan tidak memasang raut curiga begitu.
“oh, anaknya jeng anggi, lalu kenapa dia ga masuk?” mamanya mengangguk paham, lalu bertanya.
“em katanya dia lagi banyak urusan mah.” Jawab shilla “ya udah ya mah aku ke kamar dulu, capek.” Katanya lagi lalu mencium pipi mamanya dan beranjak mulai meniti anak tangga, ia takut di tanyai lebih banyak lagi perihal kepulangannya tadi bersama Rio.
“eh shill.” Panggil mamanya.
Shilla menhentikan langkahnya, lalu menoleh pada mamanya.
“nanti malem kita di undang sama keluara haling buat makan malam di restoran barunya jeng anggi sekalian ngeresmiin restoran itu.” Kata mama.
Mulut shilla menganga berarti dia bakal ketemu lagi dengan Rio, waw kebetulan banget. Mamanya Rio memang jago masak, sampe beliau membuka restoran di mana-mana, awalnya beliau memulai membangun restoran di manado, tempat kelahirannya, lalu lama-lama restorannya berkembang dan kini bercabang dimana-mana. Mungkin di kota ini sudah ada tiga restosan milik tante anggi, dan yang akan dibuka ini pasti yang ke empat. Restorannya mencakup beberapa makanan dari negeri ataupun dari luar negeri.
Shilla tersenyum tipis menyadari bahwa ia akan bertemu kembali dengan Rio. Siapa yang tak senang akan bertemu dengan pemuda seperti rio? Pasti semua orang juga mau, Rio anaknya baik, ramah, asik, namun kadang-kadang dia tak pernah menjaga omongannya, dia anak yang cablak. Tapi shilla masih belum menyadari perasaannya, ia belum sadar kalo benih-benih itu mulai muncul..
“nanti kamu dandan yang cantik ya, yang sopan, nanti mama Bantu milihin baju.” Kata mamanya lagi, yang membuat shilla terhenyak.
Shilla hanya tersenyum dan mengangguk, lalu dia melanjutkan langkahnya menuju kamarnya.
Tok..tok..tok..
Suara ketukan itu berasal dari kamar Shilla, mamanya berkali-kali mengetuk kamar anak gadisnya itu tapi tak ada yang menyahut. Sampai akhirnya ia membuka pintunya dan mendapati bahwa anak gadisnya itu sedang tertidur pulas dengan earphone yang menguntai di kedua telinganya. Mamanya hanya menggeleng-geleng “dasar udah sore gini masih aja tidur, mana pake sambil dengerin musik lagi, pantes aja ga ada sautan.” Omel mamanya sambil berkacak pinggang.
“Shill, bangun sayang udah sore..” ujarnya membangunkan Shilla sembari menggoyamg-goyangkan tubuh Shilla. Tetapi Shilla tak bergembing, ia tetap tertidur.
“Shilla bangun..” kata mamanya lagi, sekarang menepuk-nepuk pipi pualam putrinya. Kemudian Shilla mengerjap-ngerjapkan matanya, merasa ada seseorang yang membangunkan dan meepuk-nepuk pipinya. Dalam pandangan yang masih buram, Shilla bisa melihat mamanya, lalu ia membuka earphonya dan bangkit menjadi duduk, sembari menggeliat dan mengucek matanya.
“bangun sayang, cepet mandi bentar lagi kita kan mau ke restoran jeng Anggi, ketemu keluarga Haling.” Ucap mamanya –lagi-.
Shilla membulatkan matanya, kesadarannya mulai terkumpul “oh iya, aku lupa ma.” Gumamnya seraya menepuk jidatnya.
“makanya cepet mandi sana, mama nyiapin baju kamu.” Kata mamanya sambil berjalan menuju lemari Shilla.
Shilla segera bangkit berjalan sempoyongan menuju kamar mandinya, hampir saja ia menubruk lemari hiasan yang berada dekat kasurnya, karena kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya.
Malam ini Shilla terlihat begitu sangat cantik dan anggun, dengan balutan dress cantik tak berlengan berwarna merah ke jinggaan, dengan salur putih di bagian dadanya dan di bagian bawahnya. Ditambah dengan rambutnya yang dibiarkan tergerai melewati bahunya dengan bando pita di kepalanya *penampilan Shilla (Blink) di Inbox*. Serta dandanan yang natural untuk seumurannya dan high heels yang senada dengan dressnya.
Ia mematut dirinya didepan kaca, lalu tersenyum manis. Ia akui jasa mamanya memang sangat berguna, mamanya lah yang merubah Shilla menjadi secantik ini, mamanya yang memilihkan baju, serta mendandaninya.
***
Keesokan harinya…
Shilla tersenyum ketika membuka pesan masuk ke ponselnya pagi ini. Pesan itu dari Rio, karena semalam mereka bertukar nomor.
From: Mario J
Shill gue jemput lo ya sekarang, lo harus udah siap..
Oke cantik ;)
Kalimat terakhirlah yang membuat Shilla senyam-senyum membaca sms dari Rio, kalimat terakhirlah yang membuat perubahan pada pipi Shilla, dan yang paling penting pengirimnya lah yang membuat hati Shilla berdesir.
shilla mengetikan jawaban untuk Rio.
To: Mario J
Oke :D
Setelah itu, Shilla memasukan ponselnya kedalam saku rok abu-abunya. Lalu ia berjalan menuju cermin dan mematut dirinya didepan cermin. Seperti biasa ia selalu terlihat cantik, rambutnya -seperti biasa- di biarkan tergerai, di tambah sebuah jepit beraksen kupu-kupu ia sematkan dijejumputan rambutnya. Kemudian ia kembali tersenyum, dan memutuskan untuk menunggu Rio di depan rumah.
Shilla menuruni anak tangga dengan senyuman yang mengembang di bibirnya, dan sebuah senandung kecil yang selalu ia senandungkan “nananana”.
Sampai di dapur, Shilla menyapa kedua orang tuanya masih dengan senyuman yang mengembang, lalu shilla menyomot roti –selai- strawberry kesukaannya dan meminum susunya.
Mamanya heran melihat sikap Shilla yang sejak malam tadi sering tersenyum sendiri.
“Shill kamu kenapa sih?” Tanya mamanya.
Shilla menghentikan aksinya meneguk susu, ia menaikan sebelah alisnya.
“maksud mama?” ia balik bertanya.
“kamu itu loh ko senyam senyum gitu.”
“oh..hehe.. ga papa ko mah, hehe.” Jawab Shilla cengengesan.
Sedangkan sang papa hanya menggeleng-geleng melihat putri satu-satunya ini.
“kamu berangkat sama supir ya, papa hari ini bakal ke luar kota.” Akhirnya sang papa ikut berbicara.
“ngga ko pah, aku mau sama temen, hehe.” Kata Shilla cengengesan, lalu menggigit rotinya. Mama dan papanya menoleh kearah Shilla. Jelas saja mereka pun heran, Shilla tak pernah berangkat sekolah dengan temannya, ia selalu diantar supir kalo tidak dengan papanya.
“siapa?” Tanya kedua orang tuanya.
“Rio, mah pah, hehe.” Jawab Shilla polos ditambah dengan cengiran khasnya.
Kedua orang tuanya tersenyum, lalu menggelengkan kepala.
“oh pantesan dari malem kamu senyum terus, karena Rio ya.” Goda sang mama.
Shilla yang sedang meneguk susunya tersedak mendengar ucapan mamanya.
“uhuk…”
“lho Shill kenapa? Ati-ati dong sayang, mama seneng ko kalo kamu deket sama Rio.” Ucap sang mama lagi, sembari mengusap punggung anak gadisnya itu.
Shilla menyusut bibirnya yang belepotan susu, pipinya memerah.
“apaan sih mama, ngga ko” ucap Shilla sedikit malu-malu apaan sih, aduh ko gini ya, jangan sampe, batinya.
“udah ah mah, aku berangkat dulu ya, takut si Rio nunggu di depan.” Katanya, lalu ia menyalami kedua orang tuanya dan segera pergi keluar rumah.
------------------------------
Seisi sekolah gempar dengan kedatangan Shilla dengan Rio, melihat mereka berboncengan membuat semua siswa maupun siswi berdecak iri. Terlebih karena Shilla cantik, dan Rio tampan, ada juga yang melihat mereka kagum.
Hingga di kelaspun topic hangat yang beredar adalah kedatangan Shilla dan Rio yang berboncengan. Sivia menjadi orang pertama yang menggandeng tangan Shilla menuju luar kelas dan menanyai perihal kedatangan Shilla bersama Rio, dan Rio pun juga sama Gabriel lah yang pertama kali menanyainya.
Sedangkan pemuda yang duduk di bangkunya sedari tadi menatap kedua sejoli itu penuh amarah, terlebih pada Rio ia memandang dengan tatapan membunuh. Tapi tak ada seorangpun yang menyadari itu.
0 comments:
Posting Komentar